Selasa, 01 November 2011

Kapan Rumah Adat Karo Diperhatikan??

Tanah Karo.


Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada diketinggian tersebut, Tanah Karo Simalem, nama lain dari Kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17° C. Dibanding dengan propinsi lain di Indonesia, Sumatera Utara memang unik. Disana ada tujuh suku berdiam berdasarkan pengelompokan geografis dan etnis, Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, Melayu, Nias dan suku pandatang.
Kabupaten Karo terletak di dataran Tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Banyak keunikan- keunikan yang terdapat pada masyarakat Karo. Baik dari geogarafis, alam, maupun bentuk masakan.
Berdasarkan Undang – undang No.5 Tahun 1992 bahwa “Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar Budaya diperlukan langkah pengaturan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya “.
Berdasarkan Undang - undang No.11 Tahun 2010 bahwa “Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bagi bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut  UU Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 Pasal 5 mengatakan bahwa: “ Benda, bangunan atau stuktur  dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, ataupun Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria; berusia 50 ( lima puluh ) tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 ( lima puluh ) tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguat kepribadian bangsa ”.
Pada masyarakat Karo terdapat beberapa Rumah Tradisional yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabunya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan Rumah Adat Karo. Rumah Adat Karo ini berbeda dengan Rumah Adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan Rumah Adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut Rumah Adat.
Kelebihan Rumah Adat Karo terhadap rumah modern lainnya yaitu, rumah sekarang / modern hanya ditempati oleh satu kelurga sehingga makna persaudaraan mulai teriris, selain itu dengan rumah sendiri maka lebih leluasa menggunakan mistik / magik sedangkan di Rumah Adat tidak bisa karena telah ada ornamen yang menjadi acuan di dalam Rumah Adat. Rumah Adat yang di Tanah Karo yang masih bertahan masih dapat dilihat di daerah Lingga, Dokan dan Peceren dan desa lainnya.
Rumah Adat Tradadisional Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu ( delapan keluarga ), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu ( dua belas keluarga ) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan Rumah Adat yang terbesar adalah Rumah Adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang Rumah Adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu ( keluarga ) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga.
 Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu ( sukut, kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh Anak Kuta ( masyarakat kampung setempat ).
Pembangunan sebuah Rumah Adat pada jaman dahulu harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada secara turun-temurun. Sebelum membangun Rumah Adat diawali dengan ‘Runggu’ ( musyawarah ) dalam menentukan hari baik untuk memulai pembangunan, pada hari pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan pembangunan berjalan dengan baik.
Payung Bangun [ 1970 ] menjelaskan bahwa, Rumah Batak biasanya didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap ijuk. Letaknya memanjang kira - kira 10 - 20 meter dari timur ke barat. Pintunya ada pada sisi barat dan timur pada pada rumah Karo dan Simalungun, atau pada salah satu ujung lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong ). Pada bagian puncak yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur di pasang tanduk kerbau atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk setengah lingkaran ( kecuali rumah empat ayo pada orang  Batak Karo ). Pada bagian depan ( barat dan timur ) rumah karo yang disebut ayo ada ornamentasi geometris dengan warna- warna merah , putih, kuning dan hitam.
Satu bagian yang merupakan keistimewan dari rumah karo dan yang tidak ada pada Rumah Batak yang lain adalah semacam teras dari bambu yang di susun di serambi muka. Terras ini di sebut ture yang pada malam harinya berfungsi pula sebagai tempat pertemuan dari gadis rumah itu dengan pemuda yang datang datang mengunjunginya.
Letak Rumah Adat Tradisional Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebut Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu ( pangkal kayu ) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu / Jabu Raja.
  Gambaran Rumah Adat Karo
Masyarakat Karo dahulu percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat itu merupakan ciptaan
Dibata. Menurut Bangun, Roberto dalam bukunya “ Mengenal Orang Karo ”, orang Karo membedakan antara Dibata si idah ( Tuhan yang dilihat ) dan Dibata si la idah ( Tuhan yang tidak dilihat ). Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu.
Sedikit penjelasan bahwa di dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo terdapat daliken sitelu / rakut sitelu. Ketiga unsur yang terdapat adalah kalimbubu ( pemberi dara ) Anak beru ( pihak penerima dara ) dan senina ( saudara ) Kalimbubu adalah golongan yang terhormat, golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga dibata di idah. Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci ( Dibata yang berjenis perempuan ) Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas, tengah, dan bawah.

Menurut Sembiring, Deking dalam buku ( 2010 ) menjelaskan bahwa rumah Adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen - ornamennya yang kaya akan nilai - nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo menggambarkan hubungan yang erat antara masyarakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya.  Pemilihan bahan untuk membangun Rumah Adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku, besi atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan Rumah Adat Karo. 
 Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah Adat  menggambarkan kebesaran suatu Kuta ( kampung ), karena dalam pembangunan sebuah Rumah Adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan. Kegiatan gotong - royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu ( sukut, kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh Anak Kuta ( masyarakat kampung setempat ).
Demikian juga ketika Rumah Adat telah selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru ( memasuki rumah baru ). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari baik untuk mengketi ( mendiami ) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.
Bangunan Rumah Tradisional Karo memiliki dua belas, delapan, enam dan empat keluarga yang hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tenteram. Rumah warisan budaya Karo berusia ratusan tahun dan terdapat di sejumlah desa di Kabupaten Karo, termasuk di Desa Lingga.
Bahan bangunan rumah tradisional ini dari kayu bulat, papan, bambu dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang dikerjakan tenaga arsitektur masa lalu. Rumah Adat Karo memiliki dua pintu, yang letaknya di bagian depan dan yang satunya lagi di belakang. Jumlah jendela-nya ada delapan. Empat ada di samping kiri dan kanan. Dan empatnya lagi ada di bagian depan dan belakang. Organisasi rumah adat ini berpola “ linier ” karena ruangannya menunjukkan bentuk garis. Pada beberapa bagian rumah terdapat relief yang dicat dengan warna merah, putih, kuning, hitam dan biru. Bangunan-bangunan itu berbentuk khusus yang melambangkan sifat-sifat khusus dan kekhasan yang di miliki oleh suku karo pada umumnya.
Kondisi rumah peninggalan nenek moyang karo tersebut sangat memprihatinkan. Di Desa Lingga terdapat sekitar 28 Rumah Adat. Kini tinggal 2 buah lagi yang layak huni. Yakni Rumah Gerga ( Raja ) dan Rumah Belang ayo. Sekitar 5 rumah adat disana berdiri miring dan hampir rubuh. Sedangkan rumah adat lainnya telah rubuh

Rumah Adat Lingga, termasuk bagian dari daerah parawisata dan sering dikunjungi oleh tourist dan pelajar sekalian melakukan penelitian termasuk saya.
Dalam buku Sabaren, Ulih yang berjudul “Adat Istiadat Karo Jilid II” Rumah adat karo menunjukkan adanya kebersamaan dan persatuan yang kuat terhadap masyarakat dahulu. Dahulu persatuan masihlah kaut sehingga gotong royong sering mereka lakukan termasuk dalam membangun Rumah Adat. Dahulu nama orang pembantu dalam melakukan kegiatan gotong royong disebut srayani ( pekerja yang bekerja tanpa gaji dan hanya memberi nasi dan minuman serta rokok saja ), sehingga rumah adat pun dapat tercipta
Rumah Adat Lingga berdiri berkisar sekitar 200 tahun silam. Generasi yang menetap di rumah adat pun sudah banyak. Namun raja pertama pendiri rumah adat dapat dilihat di Urut Lingga yaitu kuburan yang panjang.
Dalam buku “Dinas Pariwisata, Seni Dan Budaya Kabupaten Karo” dapat di asumsikan bahwa tanah karo banyak menyimpan peninggalan atau situs Cagar Budaya yang belum terdokumentasi dan terdata dengan baik. Keberadaan Benda Cagar Budaya di Kabubaten Karo merupakan data sejarah yang sangat penting untuk mengenali dan mengetahui situasi dan kondisi masyarakat pada masa lalu. Dalam hal ini peninggalan Benda Cagar Budaya di masa lalu bisa dijadikan sebagai pedoman untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri bangsa.

Oleh sebab itu, kita harus melestarikan benda - benda Cagar Budaya dimasa silam sehingga mencerminkan citra masyarakat itu sendiri. Dan disamping itu juga untuk Kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kepentingan nasional.